PALANGKA RAYA – Kasus kriminalisasi Kepala Desa Tempayung Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawarinngin Barat (Kobar), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sedang hangat menjadi perbincangan publik. Kasus ini bermula ketika di tangkapnya Syachyunie selaku Kades Tempayung dengan tuduhan mendalangi pemortalan adat yang mengganggu akses kebun sawit milik PT. Sungai Rangit Sampoerna Agro.
Syachunie dituntut telah melanggar pasal 335 KUHP dan pasal 107 ayat 1 huruf a tentang Perkebunan Nomor 39 tahun 2014. Kasus ini sudah bersidang sekali dan akan bersidang lagi pada Rabu, 5 Februari 2025.
Satria Bintang Erja Hamadani selaku Perwakilan Gerakan Mahasiswa Kritis Palangka Raya (GERMIS Palangka Raya) menyoroti kasus ini dan menyebut kasus yang terjadi sangat berindikasi untuk membungkam masyrakat adat.
“Kasus ini sangat janggal dan sangat berindikasi hanya untuk membungkam perlawanan masyarakat adat, Pada pasal 335 KUHP sesuai dengan putusan Mahkamah Kontitusi(MK) Nomor 1/PUU-XI/2013 diputuskan bahwa frasa ‘Suatu perbuatan lain ataupun perlakuan yang tidak menyenangkan’ telah dihapuskan dengan dasar tidak memiliki kepastian hukum dan perbuatan tidak menyenangkan tidak memiliki tolak ukur, namun di BAP kasus tempayung masih memakai frasa itu,” beber Mahasiswa yang akrab disapa Bintang kepada Vox Merdeka, Selasa (4/2).
Bintang melanjutkan, sedangkan pada pasal 107 Ayat (1) huruf a berbunyi bahwa : Setiap orang secara tidak sah yang: a. Mengerjakan, menggunakan, menduduki dan/atau menguasai Lahan Perkebunan hal ini juga bertentangan dengan apa yang terjadi di kasus Tempayung.
“Yang mana mereka bukan menguasai lahan, namun, masyarakat adat disana melakukan ritual adat dan dapat dikategorikan portal ini bukan portal biasa melaikan portal adat dan tradisi masyarakat disana. Yang mana ini diatur di Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya,” jelasnya.
Mahasiwa Fakultas HUkum Universitas Palangka Raya ini juga mengatakan seharusnya mereka memportal adat itu juga dilindungi undang-undang dan negara harus melindunginya.
“Dan lagi didalam hukum pidana ada yang namanya asas kausalitas atau asas sebab-akibat, seperti yang kita ketahui penyebab mereka melakukan pemortalan secara adat adalah ketidakadilan yang dihadirkan perusahaan yang menjadi faktor utama dari pemortalan adat tersebut,” katanya.
Ia menyebut masyarakat bukan hanya semerta-merta memportal tanpa sebab, dan lagi mereka memportal adat juga sudah berizin dengan perusahaan yang berarti adalah legal.
“Dan yang membuat bingung kenapa sampai harus dikriminalisasi sedangkan itu adalah wilayah adat mereka,” tambah Bintang.
Aktivis Mahasiswa UPR ini juga sangat menyayangkan kasus ini sampai terjadi dan dirinyakhawatir kasus kriminalisasi seperti ini akan terjadi lagi.
“Saya juga berpesan kepada seluruh mahasiswa terkhusus nya regional Kalimantan Tengah untuk bersama-sama saling rangkul mengawal kasus ini. Kajian dan analisis terkait kasus ini yang kami miliki sudah hampir rampung dan akan rilis dalam waktu dekat,” tandasnya. (R1)