PALANGKA RAYA – Hujan mengguyur Kota Palangka Raya pada Selasa (27/1/2025) malam. Tapi, hal itu tak menyurutkan semangat puluhan warga yang memadati halaman Vihara Awalokiteswara Buddhayana.
Mereka berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan barongsai dalam rangka menyambut perayaan Tahun Baru Imlek 2025, di Jalan Tjilik Riwut km 9, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Tiga kali penampilan yang dimulai pukul 21.45 hingga 22.00 WIB itu menjadi bukti bahwa seni tradisional barongsai telah berhasil menembus batas-batas budaya dan agama. Di Palangka Raya, barongsai bukan sekadar pertunjukan kesenian Tionghoa, tetapi telah menjelma menjadi simbol persatuan dalam keberagaman di Kalteng.
“Jadi kita merangkul semuanya, dari suku dan agama apapun bisa bergabung,” ungkap Jeanni Pranesa, satu di antara pemain barongsai.
Hal ini menegaskan bahwa kelompok barongsai di Palangka Raya membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin bergabung, tanpa memandang latar belakang suku maupun agama.
Jeanni membeberkan, para pemain barongsai yang tampil malam itu tak semua berasal dari keturunan Tionghoa. Mereka berasal dari latar belakang suku yang berbeda-beda.
“Ini memang terbuka untuk umum, kami latihan setiap malam minggu,” kata Jeanni.
Barongsai juga bukan sekedar penampilan yang menghibur lewat atraksi dan gerakan yang memukau, tetapi juga pada makna simbolis di balik warna-warni kostumnya.
Dalam tradisi Tiongkok, setiap warna membawa makna dan harapan tersendiri. Barongsai merah, yang paling sering dijumpai, melambangkan keberuntungan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
Sementara itu, barongsai berwarna emas membawa simbol kekayaan dan kelimpahan rezeki. Masyarakat meyakini bahwa penampilan barongsai emas dapat membawa kesuksesan finansial bagi lingkungan sekitarnya.
Lalu, barongsai hijau, meski jarang ditampilkan saat Imlek, juga menyimpan makna mendalam sebagai simbol pertumbuhan dan awal yang baru.
Pertunjukan barongsai di Vihara Awalokiteswara Buddhayana malam itu bukan sekadar hiburan semata. Ia menjadi cermin bagaimana sebuah tradisi dapat menjadi jembatan pemersatu dalam masyarakat yang beragam.
Di tengah rintik hujan, semangat persatuan itu tetap ada, menjadi pengingat bahwa keindahan Indonesia justru terletak pada keberagamannya. Begitu juga di Kalteng dengan falsafah huma betangnya yang menjadi simbol kerukunan masyarakatnya. (R1)