PALANGKA RAYA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti tuntutan yang dijatuhkan kepada MH, seorang Saksi Pelaku yang Bekerjasama atau justice collaborator (JC) dalam kasus penembakan warga sipil yang dilakukan oleh anggota kepolisian di Kalimantan Tengah. MH dituntut 15 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Palangka Raya pada Rabu (14/05/2025).
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menilai bahwa tuntutan tersebut kurang mempertimbangkan hak-hak seorang saksi pelaku bekerjasama (JC), serta dapat berdampak terhadap keberanian masyarakat dalam bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana.
Dijelaskan oleh Sri Nurherwati bahwa sebelumnya pada 29 April LPSK telah mengirimkan Rekomendasi Pemberian Hak Sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama bagi Terlindung MH kepada jaksa penuntut umum perkara nomor: 50/Pid.B/2025/PN Plk, yang dalam hal ini disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah dan Kepala Kejaksaan Negeri Palangka Raya.
Pemberian rekomendasi LPSK tersebut juga termasuk pemberian keringanan tuntutuan penjatuhan pidana terhadap MH sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi kesaksian/keterangan, keberanian, dan kesediaan yang telah diberikan dalam mengungkap tindak pidana sehingga menjadi terang dan jelas.
“Rekomendasi dikirimkan pada jaksa terkait dengan kedudukan MH selaku JC untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana. LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim” jelas Nurherwati.
Bahwa berdasar penelaahan dan keterangan yang telah disampaikan dalam persidangan, LPSK menilai posisi MH bukanlah pelaku utama dan tidak memiliki niat maupun motif untuk melakukan pencurian atau pembunuhan. MH juga mempunyai itikad baik untuk memberikan keterangan yang dapat membantu pengungkapan perkara.
Selai itu, dilihat dari kedudukan dan latar belakangnya, Terdakwa AKS mempunyai posisi yang lebih kuat, yakni anggota polisi aktif yang bersenjata dan memiliki peran dominan, termasuk dalam membuang jasad korban dan membersihkan jejak. Posisi MH membantu karena merasa terancam secara fisik dan psikologis oleh pelaku utama.
Dalam proses persidangan, MH didakwa dengan Pasal 365 ayat (4) KUHP tentang pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian serta Pasal 181 KUHP tentang penghilangan barang bukti, yang dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP mengenai turut serta secara sadar.
Sri Nurherwati menilai bahwa jika JC seperti MH tetap dituntut dengan pidana berat, maka akan jadi preseden kurang baik yang dapat mematahkan semangat saksi-saksi lain untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam proses pengungkapan perkara.
Ditambahkan, bahwa dalam mendukung perlindungan hukum bagi JC MH selanjutnya akan membangun komunikasi dan kerja sama dengan aparat penegak hukum, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), untuk memastikan pemenuhan hak-hak MH sebagai JC, termasuk kemungkinan pemberian remisi, jaminan keamanan, serta perlindungan lanjutan pasca putusan.
Sidang lanjutan berikutnya dijadwalkan pada 16 Mei 2025. “LPSK berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa MH bertindak dalam tekanan dan ketakutan, serta telah menunjukkan iktikad baik dengan menjadi JC,” ujar Sri Nurherwati.
Selanjutnya diperlukan upaya bersama koordinasi lintas lembaga untuk dapat memastikan keadilan ditegakkan secara menyeluruh, termasuk menelusuri indikasi pelanggaran hukum oleh pelaku utama selama proses peradilan.
Pada 14 Januari 2025 LPSK memutuskan Permohonan Layanan Perlindungan MH berupa Pemenuhan Hak sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) berdasarkan pertimbangan bahwa MH memenuhi syarat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, khususnya pasal 28 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. (R1)